Senin, 28 Desember 2009

Jangan Berhenti, Lanjutkan Pengusutan Century Gate



Oleh: Rudi Hartono*)

Dunia politik entertainment Indonesia kembali mengeluarkan gosip panas. Kali ini, dunia politik meluncurkan sinetron baru berjudul “Aburizal Bakrie is not happy with me”, sebuah episode khusus mengenai perseteruan antara Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie. Benarkah keduanya berseteru? Ini merupakan pertanyaan paling penting di benak kita.


Menurut beberapa sumber, Sri Mulyani mulai menabuh genderang perang melalui media-media asing, khususnya The Wall Street Journal. Dalam edisi Kamis (10/12) koran tersebut, terdapat pernyataan Sri Mulyani bahwa investigasi atas bailout Bank Century merupakan upaya para politisi yang menentang agenda reformasi yang dia terapkan, untuk mendiskreditkan dirinya.

Sebelumnya, sekitar bulan November tahun lalu, Menkeu menolak untuk menutup perdagangan saham saat harga-harga saham Bakrie mengalami kejatuhan; PT Bumi Resources (BUMI), setelah jatuh 32,03% pada level Rp2.175, PT Bakrieland (ELTY), dihentikan pada level Rp150 setelah anjlok 36,17%, dan PT Bakrie Sumatera (UNSP), pada level Rp460 setelah anjlok 35,21%.

Saya adalah orang yang berposisi menentang kedua orang ini. Sebab, baik Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie, keduanya mewakili kepentingan kaum kaya melawan mayoritas kaum miskin. Kalau Aburizal Bakrie mewakili kepentingan bisnisnya sendiri, sementara Sri Mulyani mewakili korporasi raksasa-korporasi raksasa yang berbasis di AS dan Eropa.

Makna Reformasi Sri Mulyani

Dalam pernyataannya di The Wall Street Journal, Sri Mulyani kembali mengulang pernyataan usang para penganut neoliberal, bahwa korupsi merupakan penjelasan utama terhadap keterbelakangan ekonomi negeri berkembang. Menurut mereka, karena negara cenderung menjadi sumber korupsi, peningkatan peran negara dalam perekonomian, bahkan sebagai regulator, akan melahirkan kapitalisme kroni, ketidak-efisienan.

Wacana neoliberal memiliki ikatan yang sangat rapi dengan teori korupsi ini. Asumsinya; Dengan meminimalisasi peran negara dalam kehidupan ekonomi, kemudian memperbesar peran pasar dalam transaksi ekonomi, maka peluang korupsi antara dua aktor ekonomi dan negara bisa dikurangi. Jadi, agenda reformasi ekonomi yang dimaksudkan Sri Mulyani, antara lain, adalah mengurangi peran negara dan memaksimalkan peran swasta.

Target utama dari reformasi birokrasi ini bukan hanya agen-agen negara (politisi, birokrat, dan partai), tetapi lebih besar kepada mayoritas rakyat. Kesejahteraan rakyat-lah yang paling banyak dipangkas, lebih besar ketimbang birokrasi dan politisi.

Pada kenyataannya, agenda reformasi Sri Mulyani, dkk untuk meminimalkan peran negara dan memperbesar peran pasar bukannya memperbaiki kondisi ekonomi negara berkembang, justru membawanya pada situasi yang begitu suram; kemiskinan, pengangguran, kelaparan, kehancuran ekosistem, dan sebagainya.

Neoliberalisme mengkonsolidasikan diri sebagai kekuatan hegemonik dunia saat ini, setelah melalui privatisasi, yakni pengambil-alihan swasta terhadap kekayaan kolektif dan kepemilikan publik, termasuk simpanan publik, tanah, mineral, hutan, berbagai bentuk kekayaan sosial lainnya—hajat hidup orang banyak.

Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima generasi. Jadi, bagian negara yang hendak diminimalkan oleh Sri Mulyani, Dkk adalah peran sosialnya, sebagai pelindung kesejahteraan umum. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan (profit) swasta, terutama yang berbendera asing.

Di sisi lain, berbagai kejahatan yang disponsori oleh korporasi terus menguat, bahkan menjadi pemicu penting krisis ekonomi dunia pada September tahun lalu. Kita masih mengingat berbagai bentuk penyimpangan itu, diantaranya teknik akutansi “kemitraan”-nya Andrew Faston, eksekutif financial enron, yang sebenarnya merupakan mekanisme untuk menyingkirkan biaya dan utang dari neraca. Kemudian metode yang dilakukan oleh world[dot]com, yaitu menyamarkan biaya sebagai investasi.

Dalam kasus Bank Century, argumentasi “efek sistemik” dipakai untuk membiayai bankir kriminal dan sejumlah deposan besar, sebuah persekongkolan keji antara pengambil keputusan ekonomi dan penjahat.

Pemicu Perseteruan Sri Mulyani versus Aburizal Bakrie

Terhadap Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie, Sri Mulyani memang sering memperlihatkan ketidakcocokan. Pada saat Aburizal ditunjuk sebagai Menko perekonomian dan Sri Muyani sebagai Menkeu, keduanya memperlihatkan tidak harmonis. Sehingga, presiden SBY ketika itu me-reshuffle KIB jilid I, menggeser Aburizal dari Menko Perekonomian menjadi Menko Kesra.

Kemudian, ketika terjadi krisis di sektor keuangan di tingkat global dan berimbas sampai ke Indonesia, Menkeu Sri Mulyani ketika itu menolak menutup perdagangan saham saat harga saham Bakrie mengalami kejatuhan.

Dua bulan sebelumnya, kedua pembantu presiden itu 'berselisih' soal royalti tambang batu bara. Saat itu Sri Mulyani sebagai Menkeu mengangkat kasus tunggakan royalti batu bara yang mencapai Rp7 triliun. Anak perusahaan Bumi, yaitu PT Arutmin dan PT Kaltim Prima Coal, tersangkut dalam urusan royalti itu.

Ini adalah pertengkaran yang khas antara teknokrat dengan kapitalis birokrat. Sri Mulyani mewakili barisan kaum teknokrat, menganggap bahwa keputusannya bebas dari kepentingan dan bersifat “objektif”. Sementara Aburizal Bakrie, yang dikenal sebagai pejabat dan sekaligus pengusaha besar, dikenal sebagai kelompok elit yang menggunakan politik (kekuasaan) untuk memperluas kepentingan bisnisnya.

Pertanyaanya: apakah benar teknokrat itu benar-benar bebas kepentingan? Kita bisa melacak ini pada bagaimana keputusan-keputusan teknokrat diambil dan aktor-aktor mana saja yang diuntungkan.

Pengusutan Skandal Century Harus Jalan Terus

Perseteruan itu, menurut saya, tidak bisa mempengaruhi kredibilitas politik pengusutan skandal Bank Century. Sekeras apapun pertikaian mereka, siapapun—pengamat politik, ekonom, media massa—tidak bisa menurunkan bobot keingan dan desakan publik untuk mengusut kasus Bank Century.

Pertama, desakan kuat dari publik untuk mengungkap kejahatan di balik kasus Century berlatar-belakang ketidakadilan; ini adalah soal pilihan kebijakan ekonomi—antara menyelamatkan segelintir kaum kaya atau masyarakat banyak.


Alat ukur, metodologi, epistemology pengambilan keputusan ekonomi, termasuk kasus Bailout Century, masih merupakan variable-variabel yang masih perlu diperdebatkan. Kemudian, krisis ekonomi sebetulnya menerjang, paling banyak, adalah kalangan menengah dan bawah rakyat Indonesia.

Kedua, Korupsi sudah kita kutuk sebagai kejahatan ekonomi dan politik yang luar biasa, tidak terkecuali terhadap pejabat dan ekonom teknokrat. Kejahatan century menjadi luar biasa bukan hanya karena nilai kerugiannya, tetapi karena pelakunya adalah orang-orang yang selama ini disebut teknokrat, kredibel, dan bebas kepentingan. Ini ibarat senjata makan tuan.

Ketiga, kejadian ini muncul ditengah skeptisisme yang besar terhadap penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi di jajaran pejabat tinggi. Ada banyak kasus pemenjaraan terhadap orang miskin yang melakukan pencurian demi kelangsungan hidupnya, sementara pejabat dan koruptor kakap tetap bebas dan sanggup mengontrol aparat penegak hukum.

Keempat, kehadiran Aburizal Bakrie dan gerbong politiknya tidak mewakili kepentingan yang sama dengan desakan publik diatas, melainkan mewakili kepentingan politik jangka pendek kelompok dan golongannya—power sharing kekuasaan. Jadi, tidak bisa mempersamakan antara kehendak politik Aburizal Bakrie dengan desakan publik yang begitu deras.

Kelima, kehadiran Pansus Hak Angket di DPR tidak terlepas dari tekanan gerakan rakyat, baik melalui aksi massa maupun opini publik. Menganggap Pansus Hak angket sebagai desakan politik elit Golkar semata adalah tidak tepat, sebuah kesimpulan yang terlampau subjektif dan mengada-ada.

Sehingga, seharusnya Sri Mulyani yang memiliki pemikiran yang mumpuni dan diperoleh dari perguruan tinggi terkemuka, University of lllinois Urbana-Champaign, harus bisa membedakan mana kepentingan Aburizal dan mana desakan rakyat.

Dengan demikian, Kita tak mau perseteruan kedua orang itu, Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie, dijadikan justifikasi untuk menggembosi desakan publik soal penuntasan skandal bank century dan segala proses politik yang sedang berjalan.

*) Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

0 komentar:

Cari Blog Ini