Saya ingin memulai kisah ini dari seorang perempuan. Putri namanya. Saya tak ingat nama lengkapnya. Kulitnya putih, wajahnya bersih, dan berkaca mata. Ia seorang aktivis mahasiswa di Solo. Ketika diam, ia kelihatan anggun. Senyumnya sedikit-sedikit, tapi kadang juga tertawa lebar. Mukanya menampakkan keyakinan. Gaya bicaranya berapi-api dan mantap.
Saya bertemu dengannya dalam sebuah diskusi tentang pendidikan di Indonesia beberapa tahun lampau saat saya masih mahasiswa semester awal. Kala itu, ia jadi pembicara. Dan saya, duduk bersila pada sebuah kursi sambil menikmati makanan kecil. Sebelum ia berbicara, saya menerka apa yang akan jadi fokus pembicaraanya.
Ternyata saya benar: ia akan "menyalahkan" neoliberalisme sebagai biang keladi permasalahan pendidikan di negeri ini. Putri dengan lantang berbicara soal narasi-narasi besar itu: kapitalisme, globalisasi, pasar bebas, juga skenario global. Semuanya kemudian ia tarik ke konteks Indonesia, khusunya masalah pendidikan. Bagi Putri, juga mungkin banyak aktivis mahasiswa yang hadir dalam diskusi itu, neoliberalisme yang terus berkembang pesat dengan menguatnya WTO, IMF, dan Bank Dunia, adalah faktor utama terpuruknya keadaan pendidikan negeri ini.
Pencabutan subsidi dalam bidang pendidikan-dengan berubahnya status PTN, misalnya-adalah bukti bahwa pemerintah menuruti kehendak kaum neoliberal, kata Putri. Anggaran pendidikan yang tak pernah sampai dengan angka yang ditetapkan Undang-undang, juga adalah bukti yang mencolok. Selain itu, pencantuman masyarakat sebagai bagian yang ikut dalam penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sidiknas dianggap Putri sebagai proses "swastanisasi" pendidikan yang dihalalkan.
Karena penasaran, dalam diskusi itu, kemudian saya bertanya pada Putri: "Benarkah neoliberalisme adalah 'setannya'?" Jangan-jangan semua yang diungkapkan Putri itu hanya sebuah kecurigaan. Sayang sekali, Putri tak reaktif dengan pertanyaan saya itu. Ia malah terkesan menghindar dari desakan saya.
Yang justru reaktif adalah dua kawan lain yang tidak jadi pembicara. Dengan bersemangat mereka mengatakan bahwa neoliberalisme memang benar-benar "si setan itu". Dan mereka juga menambahi bahwa kesadaran seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Ketika ia tak pernah mengalami penindasan, ia tak akan pernah sadar kalau ada penindasan, demikian dua kawan yang kelihatannya berasal dari latar belakang ideologi yang sama itu menyimpulkan.
Saya tak begitu yakin, adakah mereka menyindir saya. Yang jelas saya hanya tersenyum menanggapi tanggapan balik tanpa argumentasi tersebut. Apa yang sebenarnya saya lakukan dalam diskusi itu-dengan meragukan neoliberalisme sebagai biang keladi permasalahan-adalah sebuah kewaspadaan. Pada penyederhanaan masalah, pada penyempitan pandangan. Juga fundamentalisme baru.
Soalnya, saya melihat ada indikasi bahwa teman-teman aktivis yang hadir dalam diskusi tadi selalu berpikir ke satu pokok soal yang sama ketika berbicara banyak hal. Ketika berbicara pendidikan, yang salah adalah para kapitalis. Ketika berbicara soal kenaikan harga BBM, mereka merujuk pada neoliberalisme. Ketika bicara soal buruknya pelayanan kesehatan, mereka menyalahkan setan yang sama. Bukankah tendensi yang paling berbahaya adalah ketika semua soal dikembalikan pada satu biang keladi, tanpa bukti dan sekedar berpegang pada teori, semacam angan-angan yang selalu diklaim berlaku universal?
Selain itu keyakinan bahwa dunia saat ini digerakkan oleh sebuah mesin ideologi yang satu, utuh, dan total, juga mengandung risiko tersendiri. Keyakinan bahwa saat ini para agen neoliberal sedang merencanakan "sesuatu" terhadap dunia dan keyakinan bahwa mereka benar-benar mampu melakukan "sesuatu" itu terhadap dunia, juga rentan terhadap sebuah penyederhanaan.
Bukankah dunia adalah entitas yang terlalu kompleks untuk bisa digerakkan dalam sebuah kepentingan yang satu? Benarkah kaum neoliberal itu adalah kaum yang kompak, berpandangan sama, dan tidak ada perselisihan dalam benak mereka? Benarkah AS, Inggris, IMF, Bank Dunia, Exxon, dan Bill Gates punya kepentingan yang sama? Dan benarkah mereka sekarang sedang berencana menggiring dunia pada kondisi tertentu dengan prinsip-prinsip tertentu? Pertanyaan, dan keraguan ini mungkin akan dianggap keluar dari mulut seorang "kelas menengah" yang tak pernah merasakan sulitnya antre minyak tanah atau tak pernah mengalami mahalnya membayar SPP.
Akan tetapi, keraguan macam itu sebenarnya tumbuh karena kegalauan melihat sejumlah kawan yang mengaku kiri selalu menyederhanakan persoalan ketika bicara tentang banyak hal. Tiap kali bicara dengan mereka, saya selalu merasa berputar-putar saja. Perasaan saya ketika bicara dengan mereka, anehnya, mirip dengan suasana hati saya saat berdialog dengan kawan-kawan dari gerakan Islam yang fundamentalis.
Dalam beberapa hal, saya melihat ada persamaan antara orang-orang seperti Putri dan kawan-kawannya dengan teman-teman dari kelompok Islam fundamentalis. Putri dan kawan-kawannya-yang mungkin mengidentifikasi diri sebagai "kiri"-seringkali melakukan hal yang sama dengan kelompok Islam fundamentalis: mengembalikan segala hal pada satu pokok soal. Kalau teman-teman kiri hampir selalu menyalahkan dan memusuhi neoliberalisme sebagai biang keladi, maka kawan-kawan fundamentalis berbicara tentang "yang kafir dan memusuhi Islam". Tentu kelompok "kiri" dan "fundamentalis" juga bermacam banyaknya. Tapi paling tidak, ada kecenderungan semacam itu pada mereka.
Di bagian akhir bukunya yang berjudul Membela Agama Tuhan, Eko Prasetyo-seorang penulis yang aktif melawan neoliberalisme-juga mempersamakan kelompok pemuda kiri dengan Islam fundamentalis. Eko menulis dengan apik persamaan-persamaan antara dua kelompok itu yang secara fisik penampilan selalu berbeda itu.
Persamaan paling menonjol adalah sama-sama memusuhi Amerika Serikat. Kalau teman-teman kiri membenci AS karena negara itu dianggap sebagai "biang kapitalis", maka teman-teman Islam fundamentalis berang karena kebijakan AS yang cenderung memusuhi Islam. Eko juga membubuhkan persamaan lain: kedua kelompok itu sama-sama memiliki semangat, juga optimisme, dalam membangun dunia "baru".
Jika kawan-kawan kiri selalu memuja sosialisme sebagai jalan pembebasan dan mengandaikan bahwa dunia setelah sosialisme adalah tanah harapan tanpa penindasan, maka orang-orang Islam yang fundamentalis percaya bahwa Islam adalah ideologi sempurna, tata aturan paling lengkap dan tak perlu diutak-atik lagi, yang akan membawa manusia menuju kebahagiaan tanpa cela.
Yang menarik untuk disimak adalah kemunculan Hizbut Tahrir yang dalam propagandanya semakin mirip saja dengan kawan-kawan golongan kiri. Hizbut Tahrir, seperti organisasi Islam yang saklek lainnya, memang masih selalu dan barangkali akan terus menggunakan idiom seperti "kafir" dan "memusuhi Islam". Akan tetapi, istilah-istilah yang sebelumnya merupakan "hak milik" gerakan sosialisme, seperti "kapitalis", "neoliberal", "penindasan rakyat", dan lain sebagainya, ternyata mulai diambil oleh Hizbut Tahrir menjadi bagian yang sah dari propagandanya. Organisasi ini bahkan banyak sekali mengampanyekan penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing-sebuah isu yang "sangat sosialis".
Akan tetapi, persamaan-persamaan tersebut, menurut saya, akan sangat sulit mengakurkan mereka yang kiri dengan yang Islam fundamentalis. Sebab, seperti terlihat dari jalur argumentasi yang saya bangun, persamaan-persamaan itu selalu dibarengi dengan perbedaan-perbedaan yang celakanya merupakan sesuatu yang oleh masing-masing gerakan dianggap sebagai sesuatu yang sudah final, selesai, dan tak bisa ditawar. Sosialisme bagi gerakan kiri, barangkali sama sakleknya dengan syariat Islam bagi fundamentalisme Islam. Mereka boleh punya musuh yang sama, mengidentifikasi persoalan-persoalan yang mirip, tapi akan selalu berbeda dalam soal "solusi" atas persoalan itu.
0 komentar:
Posting Komentar