Hikayat Nyai Ontosoroh adalah tokoh dalam novel Bumi Manusia, (2004)bagian dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang menyebabkan sastrawan ini dikenal luas di dunia, hingga ia sempat dicalonkan sebagai orang yang layak memperoleh hadiah Nobel Sastra.
Tak ada yang menolak bahwa aspek sosial yang penting dari karya Pramoedya Ananta Toer adalah munculnya pencerahan dan penyadaran di kalangan masyarakat, terutama kaum perempuan. Bagi saya, Ontosoroh dan Bumi Manusianya ini adalah sebuah terobosan yang akan membawa dampak besar terutama bagi kaum perempuan yang butuh referensi tentang sosok yang bisa dijadikan contoh, tokoh yang dikisahkan memiliki pandangan maju dan berlawan dalam sejarah bangsa yang diwarnai penindasan dan ketertindasan kaum perempuan.
Nyai Ontosoroh adalah kisah perempuan di zaman kolonial, perempuan yang mengalami kebangkitan dan pencerahan sehingga cara pandang baru terhadap diri dan persepsi terhadap realitas mampu mengimbangi realitas baru yang dialami bumiputera sebagai akibat modernisasi kapitalis (kolonial) yang membutuhkan respon kemanusiaan baru. Dikisahkan bahwa zaman Nyai Ontosoroh atau Sanikem hidup adalah ketimpangan akibat penjajahan Bumi Manusia karya Pram adalah sebuah karya yang luar biasa dalam meneliti detail-detail psikologis dan dialektika historis manusia di masa transisi (benih-benih hancurnya tatanan feodalisme kerajaan beserta tatanan ideologisnya dan munculnya perlawanan baru terhadap kapitalisme kolonial yang bercokol).
Pada zaman ini Belanda Totok berkuasa dengan perusahaannya, dengan Gubermennya dan dengan hukum putihnya. Orang putih dan orang pribumi tidak bergaul dan tidak membaur. Hanya satu dua orang pribumi yang masuk sekolah orang Belanda. Kecuali ada satu golongan yang pada waktu ini pada tahun 1898, sangat dekat dengan Belanda dan Eropanya. Ironisnya mereka adalah golongan yang sangat tertindas dan dihina oleh masyarakatnya yaitu perempuan-perempuan yang disebut gundik atau nyai. Para nyai inilah yang sempat kenal rumah tangga Eropa dari dekat; tahu bagaimana menjalankan sebuah bisnis, dan tentu saja mengetahui ilmu pengetahuan dan dunia modern Eropa secara tidak langsung. Pram menggambarkan seorang nyai yang berwibawa karena prinsipnya, yang punya cara pandang maju dan tercerahkan, bukan sekadar nyai yang hanya menjadi objek seksual dan prestise sosial tuan kolonial. Nyai Ontosoroh menghadirkan dirinya tidak lagi sekadar gundik, piaraan, dan pajangan tuannya. Citra suka selingkuh yang menjadi watak Nyai terbantahkan oleh diri Nyai Ontosoroh.
Memang kisah tentang nyai dalam karya sastra Indonesia bukan pertama kalinya diangkat oleh Pram melalui Bumi Manusia. Cerita tentang nyai diangkat juga misalnya dalam Cerita Nyai Sarikem (1900), Nyai Isah (1903), Nyai Permana (1912).
Perlawanan Perempuan Pribumi
Nyai Ontosoroh awalnya adalah Sanikem, gadis berumur 14 tahun yang dijual oleh ayahnya sendiri menjadi gundik seorang Belanda. Sanikem adalah perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan menolak untuk menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.
Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Tetapi bagaimanapun juga Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawanan mempertahankan anaknya meski kalah. Kekalahan adalah resiko dari pertarungan. Tetapi semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh berkata kepada tokoh Minke dengan kepala tegak: "Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!" (2004).
Sanikem adalah gambaran dari gadis-gadis di Bumiputra yang mewarisi ketertindasan feodalisme (kerajaan), yang bukan saja tidak memiliki pengetahuan karena tidak dapat bersekolah, tetapi juga karena kepercayaan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena perannya hanya untuk mendampingi suami, melayaninya, melahirkan anak dan merawatnya. Sanikem adalah salah satu gadis jawa yang dilarang berbuat sesuatu seperti laki-laki.
Tetapi Sanikem justru menemukan kebangkitan karena pergumulannya dengan Mellema justru dimanfaatkan untuk belajar mengerti tentang kehidupan, sedikit demi sedikit menjadi banyak pengetahuan yang diserap, memunculkan pencerahan diri yang muncul dalam sebuah sikap dan prinsip. Awalnya adalah pemberontakan batin karena sang Ayah telah menggadaikan dirinya. Ia tak berdaya karena budaya yang jahat, tetapi dari ketidakberdayaan itu ia berjanji untuk meninggalkan kebudayaan yang jahat dan tidak memiliki dasar lagi dalam ilmu pengetahuan serta prinsip kemanusiaan baru.
Bagian lain dari cerita Nyai Ontosoroh ini adalah cerita tentang perpolitikan keluarga. Sanikem tidak hanya menghadapi perpolitikan rumah tangga keluarga kolonial. Dia pada akhirnya harus menghadapi sistem dan hukum kekuasaan kolonial itu sendiri. Kaum Nyai sepenuhnya tergantung pada perlindungan dari tuannya. Pada akhirnya seorang Sanikem yang sudah jadi seorang Nyai harus berhadapan langsung dengan tuan-tuan Hakim Belanda untuk membela diri dan membela haknya sebagai seorang Ibu, disebabkan hak asuh Annelies diminta kembali oleh keluarga besar Mellema.
Melawan kezaliman adalah sebuah kehormatan kalau dilakukan secara terhormat. Itupun yang diajarkan pada anak angkatnya dan kekasih Annelies Minke. Minke, adalah murid H.B.S. Tetapi dia bukan budak belian seperti Nyai. Dia adalah anak orang elit Jawa, tetapi yang sudah mempertanyakan budaya tradisi Jawa. Diapun ditantang untuk melawan kekuatan kolonial dan juga latarbelakangnya sendiri.
Buat Minke ada dua kekuatan baru yang dia harus belajar menggunakannya: pena dan kekuatan rakyatnya sendiri. Dia menulis dalam bahasa Belanda dan menulis dalam bahasa pribumi untuk membela keluarganya.
Saat Ini
Ada isu pembangunan watak bangsa yang diajarkan oleh Sanikem alias Nyai Ontosoroh. Ada isu tentang bagaimana kaum perempuan bersikap dalam menghadapi perubahan sosial yang begitu cepat, saat tatanan kolonialisme baru masih berjalan. Dan dalam kondisi seperti ini kaum perempuan diharapkan memiliki prinsip dan sikap yang tercerahkan, agar dapat membimbing anak-anak dan teman-temannya, juga kaum laki-laki. Sebagaimana Nyai Ontosoroh mempercepat prinsip perjuangan Minke, sebagaimana Ibunda Gorky juga mendukung dengan keharuan dan keagungan hati pemuda-pemudi yang berjuang membela kaum buruh di pabrik-pabrik kumuh dan merencanaakan gerakan sosial. Kaum perempuan dapat memetik pelajaran bahwa bagaimanapun semua orang, laki-laki dan perempuan, harus berpartisipasi dalam perjalanan sejarah. Partisipasi aktif dan berprinsip, bukan pasif dan dikorbankan
0 komentar:
Posting Komentar