Seni Rupa Pembebasan
”Saya tidak mau abstrakkan lagi. Rakyat Kita lapar. Lapar itu riil, tidak abstrak. Mereka ingin nasi. Nasi yang riil, yang kongkret yang tidak abstrak, yang bisa bikin perut mereka kenyang, kenyang yang riil, yang tidak abstrak.” S. Sudjojono
Keindahan dari karya seni rupa ditentukan oleh bagaimana sang perupa menarik garis di kanvas, tembok, bak truk, penutup roda becak, billboard dan sebagainya. Garis keindahan ada pada garis yang tegas untuk membebaskan setiap individu secara kolektif dari penindasan baik yang berupa fisik maupun dalam tataran nilai. Medan kebudayaan termsuk di dalamnya seni rupa, merupakan medan pertempuran bagi kepentingan penindas berhadapan dengan perlawanan kaum tertindas diseluruh dunia, maka jelaslah bahwa seni rupa pembebasan merupakan lawan dari garis berkarya yang menghamba Kepada kepentingan penindas serta seni rupa yang mengagungkan absurditas dalam abstraksionisme yang tak lebih dari ritual onani dengan mengatasnamakan kebebasan individu sebagai hak asasi nan hakiki, sedangkan hak lainnya boleh diinjak-injak.
Konsepsi garis pembebasan
Meminjam perumusan dari sebuah Lembaga kebudayaan Rakyat yang pernah berjaya di jamannyam, LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang kemudian semakin dipertegas oleh CC PKI melalui pidato D.N. Aidit, bahwa peranan seni dan sastra demikian krusialnya dalam menuntaskan tahapan-tahapan revolusi, pada KSSR (Konferensi Nasional Seni dan Sastra Revolusioner) di bulan Agustus dan September 1964, seni (termasuk seni rupa) yang baik adalah seni yang ‘meluas’ dan “meninggi empat mutu”.
Pertama Tinggi teknik. Pekarya sebaiknya memiliki skill yang mumpuni dalam berkeseni rupaan baik dalam komposisi, teori warna hingga anatomi yang benar. Tinggi kedia adalah tinggi estetis. Karya harus dapat menggerakkan kesadaran pemirsa kedalam sebuah bentuk perasaan yang diinginkan. Selanjutnya yang lebih penting adalah tinggi ideologi. Disini kita bicara tentang pemahaman ideologi pekerja seni yang membentuk warna dari karya yang diciptakkannya. Maka untuk membebaskan Rakyat dari ketertindasannya, sang perupa harus memiliki kesadaran anti kapitalisme serta anti feodalisme.
Puncak dari pencapaian seni rupa pembebasan (lukisan, poster, drawing, mural, vignet, karikatur dan kartun) adalah apabila sebuah karya dapat merekam, melukiskan serta memberikan solusi dari persoalan pada realitas sosial politik uang ada. Bukanlah dictum yang sulit digugat namun tanpa harus menjadi dogma bahwa “realitaslah yang membentuk kesadaran, bukan sebaliknya kesadaran yang membentuk realitas”, benar adanya. Sebab apabila tidak, maka bagaimana sebuah keadaan membutuhkan perubahan apabila tiada tuntutan untuk berubah, demikian pula sebaliknya bagaimana mungkin penindasan yang memuncak tiada memupuk perlawanan bak teori fisika pegas, semakin ditekan, semakin kuatlah daya tolaknya. Maka seni rupa pembebasan akan mengabdi Kepada realitas sosial politik yang ada akan melantingkan perlawanan untuk terbebaskannya rakyat tertindas. Dengan demikian seni akan mulai apabila dapat menjadi alat perang dalam membebaskan rakyat dimanapun di seluruh penjuru Bumi.
Sejarah Seni Rupa Pembebasan Dunia
Sejak “sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang”, maka penulisan sejarah seni rupa dunia hanya berkutat mengulas tentang perkembangan seni rupa dalam alam feodalisme dan borjuasi. Penulisan ini tidak dealiktis dan hanya berkembang dalam logika teori modernisme. Sejak penindasan terjadi di bawah langit maka seni rupa dimanfaatkan oleh kaum penguasa yang menindas dan tentunya seni rupa pembebasan berada dipinggiran.
Pada zaman bercorak produksikan pertanian, seni rupa digunakan untuk menggambarkan keperkasaan raja dan agama para Fir’aun Mesir Kuno pada dinding-dinding jeroan pyramid, Mesopotamia, China, India, dinding-dinding chapel di Italia dan sebagainya. Masa Feodalisme baranjak petang, lalu kaum borjuis merebut kuasa dalam corak produksi industri massal. Corak produksi massa Rakyat yang demikian melahirkan berjuta kaum pekerja yang teralienasi dan terhisap. Cepat atau lambat pemikiran Marx atau Marto atau siapapun akan melahirkan pisau analisa yang tajam dan filsafat untuk bagaimana merubah sejarah lebih dari hanya menganalisa sejarah membuahkan perlawanan kaum buruh di seluruh dunia sejak abad ke-18. Revolusi meledak di mana-mana. Kutu ideology dalam seni rupapun semakin menajam. Revolusi Rusia dilahirkan sekaligus melahirkan seni rupa pembebasan dengan pekerja-pekerja seni seperti Mayakowski dan Bashov, Meshanikov. Poster-poster pengobar revolusi Rusia melalui tangan mereka mewabah di berbagai revolusi diberbagai belahan dunia lainnya.
Di Jerman seni rupa melahirkan George Grosz dan Kthe Kolwiz. Grosz …………….anda rasakan” . Sepulangnya dari masa pengasingan pada tahun 1921 ia bergabung dengan Partai Komunis Mexico dan aktif menulis untuk terbitan partai El Machete dan tentu saja berkarya mural mengenai sejarah pembebasan Rakyat Mexico pada dinding istana kepresidenan yang terbuka untuk umum dan ruang-ruang publik lainnya.
Seni Rupa di Indonesia
Di Indonesia, seni rupa pembebasan termassalkan semenjak seni rupa modern yang diadopsi dari Eropa oleh PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), organisasi yang diketuai oleh Agoes Djaja dan S. Sudjojono sebagai sekretaris, sedangkan anggotanya seperti Soekarno, S. Toetoer, Abdul Salam, Surono, Otto Djajasuminta dan lainnya yang berlatar belakangkan pelukis reklame pada tahun 1938. “Di Depan Kelambu” karya Sudjono dengan realisme yang kuat melukiskan kehidupan keras yang nampak asing dibanding genre yang sedang ‘in’ saat itu. Mereka melabrak aliran Mooi Indie yang hanya melukiskan keindahan alam sebagai souvenir bagi pra pekerja imperialis apabila pulang kampung ke Eropa, seolah keelokkan Pertiwi adalah sebuah eksotisme yang pasrah menggiurkan untuk dijarah, tidak ada darah tercecer di sana, tidak ada perlawanan, semuanya serba damai.
Perang Pasifik pecah, pasukan Jepang membabat imperialis Belanga sekaligus menggerus rakyat Indonesia lebih kejam lagi. Empat serangkaian nasionalis, Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Masykur membentuk PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dimana para pekerja seni rupa berkumpul dengan varian ideology yang menjadi tandingan dari Keimin Bunka Sideiso pusat kebudayaan Jepang. Mereka mengadakan serangkaian pameran tunggal, Sudjojono mengkritisi karya yang dianggapnya hanya meninggikan estetik semata dari pada semangat tinggi ideologi pembebasan apalagi tinggi politik. Ketika pameran tunggal Basuki Abdulah sang pelukis kesayangan Soekarno. Kemudian terjadi pertengkaran sengit ia dan Soekarno, saat itu juga ia meninggalkan PUTERA.
Affandi adalah sebuah tonggak pencapaian seni rupa pembebasan tiada tara pada jamannya. Semenjak bergabung ke dalam PUTERA tak putusnya ia melahirkan karya-karya monumental mulai dari berupa cat minyak, poster, maupun mural (lukisan dinding) dalam memutarbalikan propaganda kebudayaan Jepang sebagai pemimpin Asia seperti pada karyanya yang berjudul “Tiga Pengemis” yang sangat realis dalam penggambaran penderitaan rakyat Indonesia yang kurus kering pada pamerannya di tahun 1943. Ketika dalam revolusi fisik mengenyahkan kolonial Belanda poster-posternya seperti gambar seorang pemuda pejuang yang berteriak “merdeka!” atau poster “Bung ayo Bung!” dimasalkan oleh para pelukis muda lainnya untuk menyemangati para lascar untuk membakar heroisme untuk bersambung nyawa demi kemerdekaan.
Setelah revolusi Agustus 1945, para perupa pembebasan melebur diri di bagian kesenian API (Angkatan Pemuda Indonesia ) yang bermarkas di gedung Menteng 31 Jakarta. Mereka keluar masuk kampung untuk mewabahkan garis mereka melalui poster, coretan di dinding gang, gerbong kereta api dan trem, sambutan meriah dari rakyat ada di pihak mereka. Ketika pemerintah RI harus berpindah ke Yogya, merekapun turut hijrah dengan mengabungkan diri pada Front Kerawang Cikampek diantara desing peluru turut angkat senjata menegakkan kemerdekaan. Dari berbagai pengalaman berkarya dalam medan revolusi, Sudjojono merangkumkan pemikirannya yang dapat kita sebut sebagai konsepsi awal seni rupa pembebasan dalam sebuah kumpulan tulisan berjudul “Seni, seniman dan seni lukis” (1946)
Sudjojono adalah figure sentral bagi mengeloranya seni rupa pembebasan di tanah air. Dari karya-karyanya, keyakinan ideologisnya serta sepak terjangnya dalam revolusi ia pula yang memerahkan warna SIM adalah bentuk kongkrit konsep pembebasan. Pada awal tahun ’50-an secara terang-terangan ia bergabung dengan PKI dan menjadi anggota DPR. Pemikirannya kemudian semakin disempurnakan oleh Lembaga Seni Rupa Pusat (LESRA) LEKRA. Era LEKRA adalah bom seni rupa pembebasan di tanah air. Pelukis-pelukis seperti Trubus, Hendra Gunawan, Basuki Reksobowo, Suromo, Joko Pekik, Bramasto dsb. Berada dalam orbitnya. Kelompok seperti Bumi Tarung, Kleting Kuning hingga Lesbumi milik NU atau LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang berpayung pada PNI pun tidak menolaknya.
Perang dingin menggiring kekuatan kiri ke ’rumah penjagalan’, tidak luput bagi para pekerja seni budaya untuk turut tersapu. Kata pembebasan kemudian sekarat lalu digantikan dengan kata seni rupa baru, Pop Art, Posmo atau apapun yang bernafaskan modernitas barat asalkan tiada ’warna merah’ di dalam bingkai. Politik memenangkan seni rupa pada masa Orde Baru sangat rapi tersusun. Infrastruktur mulai dari galeri, kurator, hingga terbitan dan media propaganda lainnya sangat terkontrol untuk memastikan bahwa seni rupa hanya bicara tentang humanisme borjuis. Paling banter mempertentangkan Timur-Barat yang mencuatkan Gerakan Seni Rupa Baru dan seorang Jim Supangkat. Hingga suatu ketika penderitaan rakyat tiada tertahankan dibawah sepatu lars Orde Baru memuncratkan gerakan mahasiswa tahun ’80-an dan ’90-an. Degup ini mengobarkan pembebasan sekali lagi di medan seni rupa dengan menitis pada semangat berkaryanya Semsar Siahaan, Mulyono, Yayak Kencrit yang kebetulan bersinggungan dengan gerakan mahasiswa saat itu. Konsepsi politis dan gaya drawing hitam-putih Grosz dan Kathe Kolwitz di tangan Semsar menjadi ’Tanah untuk Rakyat’, ’Api Revolusi’, ’Perang untuk Keadilan’ dll. Gerakan itu sempat mencuat, lalu dipukul dan melebar di bawah tanah dan sebagian lari keluar negeri. Hingga realitas ekonomi politik nasional maupun internasional menetapkan tahun 1998 sebagai runtuhnya rezim Orba.
Paska reformasi, garis Pembebasan kemudian menyeruak ke permukaan dalam bentuk lembaga kebudayaan Taring Padi gaya Grosz dan Semsar yang setia. Lalu mereka kembangkan dengan menggunakan media baliho besar kemudian berwarna, akhirnya seperti kita ketahui mainstream seni rupa pembebasan di tanah air identik dengan Grosz-Semsar-Taring Padi. Menggunakan media terbitan bergambar Terompet Rakyat dan seri poster cukil kayu, kelompok ini sangat berpengaruh di kalangan para pekerja seni dari lingkungan akademis hingga kelompok-kelompok otodidak independen seperti Kelompok Rakyat Biasa, Nurani Senja, Serikat Pemuda Merdeka dan Sanggar Caping. Sedangkan JAKER diwakili Kuncoro Adi Broto demi merespon politik praktis yang cepat berubah figur maupun kontelasinya, memilih untuk mengembangkan konsep kartun revolusioner kombinasi antara gaya Yayak Kencrit dan Grosz. Kelompok-kelompok lain yang bisa disebut di Bandung diwakili oleh kelompok Gerbong Bawah Tanah, Di Solo KS3 (Kelompok Seniman Sejinah).
0 komentar:
Posting Komentar