(Memotret Pemikiran Nasr Abu Zeid) Oleh: Khaled Muslih* * Mahasiswa Al-Azhar University, Cairo Pendahuluan. Dalam tubuh pengkritik Nasr, terdapat dua "muaskar"-kubu-, Pertama mereka yang menempuh jalur hukum untuk menyeret Nasr ke pengadilan, dan menuntut hakim untuk memisah Nasr dengan Istrinya, sebab Nasr - menurut mereka - telah murtad, dan seorang murtad tidak ada hak lagi untuk mengawini seorang Muslimah, pelopor kubu ini adalah Dr. Shobur Syahin, Dr. Muhammad Mazru'ah (penulis pernah ikuti ceramah beliau sekitar tahun 97'-an, dan buku beliau tentang Riddah) dan lain-lain. Sedangkan kubu kedua adalah mereka yang sepakat dengan muaskar pertama tentang keluarnya pemikiran Nasr, dari batas-batas lampu merah dalam Islam -(al-ma'lum min-din bidl-dharurah)- namum mereka tak setuju Mahkamah menjadi tempat penyelesaian, permasalahan Nasr - menurut mereka- adalah permalahan pemikiran, pemikiran tak mungkin diselesaikan kecuali dengan pemikiran. Muaskar ini dipelopori oleh Dr. M. Emarah (lihat at-tafsir markisi lil-Islam, hal 9), Dr. M. Salim al-awwa (lihat Qadhiyah Nasr Abu Zaid, bayna as-Syara' wa Qanun- Quran as-Sya'b, 21-7-95', hal 11) dan pemikir-pemikir IIIT secara keseluruhan. Selain karena saya lebih cenderung kepada kubu terakhir, juga karena pola kajiannya lebih ilmiah dibanding yang pertama dan jauh dari segala bentul emosional, karena meraka-mereka ini kebetulan tidak terlibat langsung dalam proses pergumulan masalah "Nasr Abu Zaid", ditambah dengan fiqh realitas dari umat yang ada sekarang,-,mendorong saya untuk memilih sample pengkritisi kritik Nasr atas wacana keagamaan dari kubu kedua, dan dalam hal ini, Dr. Emarah dalam "at-Tafsir al-Markisi li-al-Islam"-nya sebagai fokus pilihan kali ini. Latar belakang kehidupan Siapa sebenarnya Dr. Nasr Zaid ?. sebuah pertanyaan yang perlu kita ketengahkan untuk mengawali diskusi kita kali ini, karena pengetahuan kita tentang latar belakang kepribadian seseorang akan bisa membantu kita dalam memahami pola pikirnya, bahkan bisa membantu kita dalam memahami rahasia-rahasia dibalik sepak terjangnya. Menurut Dr. Emarah, Nasr merupakan salah seorang kader dari kader-kader "Sosialis"-"Marxis" Arab saat ini. Perkenalannya dengan sosok Nasr, bermula saat menghadiri acara Ta'ziah, saat itu beliau bertemu dengan Mahmud Al-Amin 'Alim -seorang kader "sosialis" senior-. Lalu yang terakhir memperkenalkan Dr. Nasr kepadanya : "Ini Dr, Nasr Abu Zaid" orang terbaik dalam menbedah (menganalisa) Nash. Memang Mahmud Alim merupakan pemikir ulung Marxis Arab, tapi konsen-nya terhadap masalah-masalah kritik adab mengalahkan identitas awalnya, oleh karena itu saat ia memperkenalkan Nasr sebagai "orang terbaik dalam membedah Nash", Emarah mengira bahwa nash yang dimaksud adalah nash-nash adab dan seni. Tapi mulai saat itu beliau mulai mengikuti tulisan -tulisan Nasr yang banyak bertebaran dalam jurnal-jurnal "kiri" yang diantaranya Jornal "Qadlaya fikriyah", "Adab wa Naqd", "Al-Yasar", " al-Ahali" yang terbit di Mesir , dan "Thariq" yang terbit di Bairut. Selain itu Nasr juga punya perhatian besar terhadap fenomena-fenomena geliat keislaman "shahwah Islamiyah", tapi sampai sisinipun belum ada satu hal yang membuat Emarah, tersadar dari pemahaman Nash sebagai Nash Adab dan seni, pasalnya, memang setelah jatuhnya sample Sosialis-Marxis dalam tataran teori dan tatanan politik, kesibukan mereka diarahkan untuk menghadang perkembangan dan fenomena yang sering disebut sebagai "kebangkitan Islam". Saat berkunjung ke Pameran buku, beliau mendapatkan buku Nasr terbaru yang berjudul : "Mafhum an-Nash: Dirasah fi 'ulum al-Qur'an". Saat itu baru tersadar bahwa apa yang dimaksud Mahmud Alim dengan "Nash" dalam perkataanya : "sebagai Orang terbaik dalam menbedah-menganalisa Nash", adalah Nash AL-Qur'an. Sebagai sosok yang dulu pernah mendalami Sosialisme baik dalam tataran bahasa, teori pemikiran, dan gerakan serta cara berkerja, Emarah segera menyimpulkan -dari hasil obrolannya dengan Mahmud Alim- dan penemuannya di ma'radl : bahwa Nasr berada dalam satu "Madrasah" dengannya. (Mahmud Alim.). Tapi yang berbeda dari Nasr dibanding kader-kader lainnya adalah, bahwa kader-kader lama-senior di Mesir tak pernah lagi membedah masalah-masalah "Teologi" keagamaan melalui perangkat : "dialektis-materealis historis analitis" - sampai kepada kader dalam pun mereka tidak mendoktrinkan wacana-wacana yang bernuansa doktrin tentang "ateisme" kepada anggota, hanya saja mereka mencoba menyelipkan wacana ini secara halus melalui pengajaran tentang karya-karya Marx (1817-1883), Angliz (1820-1895), Lenin (1870-1924) dan Stalin (1879-1953)-, seakan mereka menjadikan wacana ini sebagai lampu merah, yang perlu dijahui, tapi Nasr dalam hal ini mencoba untuk menerobosnya. Sehingga terjadilah apa yang telah terjadi - dikenal dengan "Qadlhiyah Abu Zaid"-yang mengguncang dunia. (at-Tafsir Markisi lil-Islam, hal 6-8). Jadi dari sudut latarbelakang pemikiran, Nasr merupakan seorang kader "Sosialis"-"Marxis" Arab muda. Dan untuk melacak frame pemikiran sosialis-marxis sudah tidak terlalu sulit bagi kita, karena masalah ini sudah menjadi wacana umum yang telah diketahui oleh siapa pun. Di antara ciri-ciri yang menonjol adalah: perangkat anilisis yang bercorakkan dialektis-materealistis-historis (seperti yang telah disinggung-dengan menjadikan realita yang materistik sebagai poros dan pusat dari segala sesuatu-), serta alergi berat terhadap segala yang berbentuk dan berbau agama terkhusus yang bercirikan metafisik. Nasr mengaku, bahwa dirinya adalah Muslim, percaya kepada Allah SWT, Rasul, hari akhir, Qadla' dan qadar - baik dan buruk dari Allah SWT --, serta bangga dengan keislamannya sebagaimana ia bangga dengan hasil penelitiannya, sehingga tidak akan menarik hasil pemikiran tersebut kecuali jika telah terbukti kesalahannya berdasarkan dalil-dalil yang qath'i" (al-Ahrâm/19-6-95' dari "at-Tafsir al-Markisi lil-Islam" hal 32). Sementara, menurut para pengritiknya, hasil-hasil pemikirannya telah keluar dari garis-garis yang telah menjadi kesepakatan (al-ma'lum min-ad-din bi- dlarurah). Kontradiksi inilah yang ingin dibuktikan oleh Emarah, seraya mengajak Nasr untuk menarik kembali hasil-hasil pemikirannya, sehingga ada singkronisasi antara pengakuan dan kenyataan. Identitas Pemikiran (obsesi Nasr). Muqoddimah buku Naqd Khithab al-Dini, ini menunjukkan latar belakang dibalik penulisan buku: yaitu kekhawatiran yang sangat besar terhadap menggejalanya fenomena apa yang sering disebut dengan "shahwah", yang menurut Nasr, dimotori oleh dua kubu. Kubu resmi yang diwakili oleh Al-Azhar, dan kubu tidak resmi -yang sering disebut dengan "al-Muâradlah al-diniyah"-"oposisi relegius"-dan "kiri Islam" atau "Islam kiri". Bagi Nasr kedua kubu ini walaupun berbeda, namun keduanya mempunyai landasan berfikir yang sama. Ia pun menolak adanya perbedaan antara golongan "Moderat" dan "Ekstrim" dalam tubuh "oposisi religius" tersebut. (Naqd Khithâb al-Dini, hal 61). Untuk memudahkan memahami apa yang diinginkan Nasr dari terminologi "al-Khithab al-Dini" terkecuali "kiri Islam", bisa disimpulkan, yang ia maksudkan adalah kelompok yang sering disebut dengan "konservatif" atau "fundamentalis". Semua kubu-kubu ini-kecuali "kiri Islam" yang menurutnya tidak lebih dari sekedar memoles upaya untuk membangun peradaban dengan Islam - Menurutnya -- yang mempunyai sejumlah ciri penting, yaitu: (1) Penyamaan antara "pemikiran" dan "agama" (hal 78), (2) Menggembalikan segala fenomena kepada satu prinsip (Allah ) (hal 81), (3) Terlalu bersandar pada sulthah (otoritas) "turats" dan "salaf" (hal 84), (4) Cenderung pada "kepastian", "absolotisme" serta "kemestian" dalam "pemikiran" (hal 89) (5) Pengabaian terhadap demensi sejarah dalam agama (hal 94). Tapi, menurut Nasr, fenomena di atas hanyalah merupakan implikasi dari dua landasan berfikir yang telah mendarah daging dalam tubuh kubu mereka. Kedua landasan berfikir itu ialah : al-Hakimiyah al-Ilahiyah. (hal; 101), (2) Pembelengguan "Nash"-"teks" (hal; 118). Ciri-ciri tersebut - ditambah dengan satu ciri yang paling menonjol yaitu terlalu bersandar pada ("ustûrah"-"mitos") dan "khurufat", yang secara sederhana berbentuk kepercayaan bahwa "ketaqwaan mendatangkan barakah dan keuntungan". Sebuah "mitos" yang telah menjebak -- bukan saja para awam -- tapi juga para "cendekiawan", "ulama", dan "para ekonom". Itu bukan saja telah menghambat kemajuan umat saat ini, tapi juga telah menghadang laju peradaban kemanusiaan secara keseluruhan. Untuk itu, tambahnya, sebuah opsi tentang pembangunan masyarakat, keadilan sosial dan kemandirian (istiqlal) ekonomi dan politik, mustahil tercapai bila tidak dimulai dengan pengikisan terlebih dahulu fenomena diatas. (hal 63) Menurutnya, gerakan "khitab al-Dini" dalam menyerang gerakan "sekularisasi" dan upayanya untuk menghembuskan gerakan "Islamisasi" di berbagai bidang kehidupan, sebenarnya merupakan upaya "kaum oportunis" untuk mencampuradukkan dengan cara yang licik dan kotor antara kekuatan "agama" dan kekuatan "negara", antara kekuatan "politik" dan kekuatan "agama", dan upaya-upaya seperti ini tidak lebih dari apa yang praktekkan oleh "rijal ad-din" pada abad pertengahan (masa kegelapan Eropa). (hal 64). Di bab terakhir (tiga) Nasr kembali menegaskan pentingnya membangun ulang cara beriteraksi dengan "nash", karena dari sinilah semuanya akan dimulai. Ia mengajak untuk membedakan antara "agama" dan "pemikiran tentang agama" yang tidak mempunyai sifat kemutlakan dan kesucian (qaddasah). Pemikiran tentang agama, katanya, tidak lebih dari sekedar ijtihad manusia untuk memahami nash-nash agama serta upaya untuk menta'wilkannya. Dengan demikian, itu tidak akan terlepas dari kaidah-kaidah umum yang mengatur pergerakan pemikiran manusia secara umum. Dari sini Nasr lalu tidak ragu-ragu untuk mengkritik beberapa hukum yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang ia anggap sebagai corong "al-khitab al-dini", dan menurutnya telah menyimpang dari "siyâq-siyâq" historis yang kemudian diberi baju metafisika secara abadi. Padahal, kata Nasr, nash-nash agama tidak pernah terpisah dari kaidah-kaidah umum bahasa yang bersumber dari budaya (tsaqafah), tempat ia berbijak. Dengan demikian, ia selalu berkaitan dengan posisi bahasa dan pengetahuan "tsaqafah"-nya. Nash al-Qur'an misalnya, walau pun merupakan "nash Ketuhanan" tapi tidak menafikan masuknya analisa kemanusiaan didalamnya. Jika tidak, pasti ia akan berubah menjadi nash yang tertutup dari pemahaman manusia biasa yang menjadi tujuan dari turunnya wahyu itu. Dari sini Nasr sepakat dengan pemahaman Mu'tazilah tentang "khuluq al-Qur'an" dan penafsirannya tentang ayat- ayat yang mengisyaratkan adanya "tajsim". Melalui penafsiran majazi ini, Nasr menolak bentuk-bentuk-bentuk "mitos" , dan di satu sisi ingin membangun pemahaman akal yang bisa mengantarkan kepada kondisi kemanusiaan yang lebih baik, bukan seperti pehamaman "literal" yang menyingkap tren-tren Ideologis yang sangat membenci kemajuan peradaban. (hal 198-akhir, lihat juga ulasan Mahmud Ali Makki, hal 12). Kritik atas kritik. Demikian secara singkap pemaparan obsesi Nasr dan sebagaian para pendukungnya tentang buku "Naqd al-khitâb al-dîni". Berikut ini komentar pengkritiknya, melalui lisan Emarah, khususnya melalui "at-Tafsîr al-Markisi li al-Islâm" dan "Nash al-Islâmi, bayna al-Ijtihad, al-Jumud, wa at-Târîkhiyah"nya. Menurut Emarah, kunci untuk memahami pemikiran Nasr ada pada methologi dialektika Marxisme-Materialisme yang ia gunakan, sehingga dalam melihat semua wacana-wacana agama (baik saat ia menelaah al-Qur'an, kenabian dan wahju, aqidah, syari'ah, serta "historiografi" nash-nash dan hukum) semuanya ia teropong dengan menggunakan teropong methodologi diatas (hal 36). Ini merupakan sikap yang konsisten, sampai terbit buku terakhirnya "Takfîr fî Zaman at-Takfîr" pada tahun 1995 (hal 41). Semua tahu, misalnya, bahwa teori Marxisme tentang "bangunan bawah dan atas" adalah : bahwa bangunan ekonomi dan sosial merupakan bangunan bawah yang akan melandasi bangunan-bangunan lain diatasnya, lalu keduanya akan mengalami proses dialektika yang rumit dan konstan. Teori ini dapat dengan jelas kita dapatkan pada teks-teks Nasr secara membludak. (lihat Mafhum Nash; dirasah fi 'ulum al-Qur'an, hal 72). Nasr, dalam hal ini, tidak saja berpegang pada teori-teori dialektika Marxisme, bahkan ia telah melangkah pada posisi mempertahankannya secara membabi buta, lalu menghadapkannya bahkan membenturkannya dengan "al-Khitâb al-dîni", wacana yang dalam kubu Marxisme merupakan musuh bebuyutan, seraya menuduh kubu ini telah menempatkan Marxisme pada dataran ateisme-materialis, yang berarti menjadikan Marxisme sebagai musuh bagi agama itu sendiri. Padahal, sebenarnya markisme telah berseberangan dengan pemikiran dan pemahaman agama yang kolot, bukan agama itu sendiri. (Naqd Khithab al-Dini, hal 35). Jika kita meruju' kepada gaya-gaya pembelaan dan penyerangan tokoh Marxisme klasik, maka kita akan temukan bahwa semua bentuk pemikiran tentang Tuhan, walau sebaik apapun, merupakan pemikiran yang kolot, karena bagi mereka alam ini bisa berdiri sendiri tanpa membutuhkan Tuhan. Marxisme, menurut Nasr, merupakan pemikiran yang bertujuan untuk mengubah alam, tidak sekadar menafsirkannya, dengan cara mengubah kesadaran manusia, tapi "khitab al-Dini" nampaknya tidak bermaksud merubah kesadaran, tapi lebih cenderung bertujuan untuk mencemarkan ideologi Marxisme. (hal 36, Tafsir Markisi, hal 39), sebagaimana "al-Khitâb al-dîni" telah menafikan adanya prinsip "dialektika" yang merupakan prinsip-prinsip pemikiran Marxisme serta prioritasnya. Padahal dalam wacana "al-Khitâb al-Dîni" ada secara jelas prinsip dialektika, yang tercermin dalam dialektika antara "pemikiran" dan "realita", dan apa yang ditolak oleh wacana ini adalah pola dialektika Marxisme-Materialis. Demikian juga dengan prinsip: pandangan terhadap perubahan alam atau dunia, dalam wacana "al-Khitâb al-Dîni" tentunya tercermin dalam prinsip "at-Tajdîd al-Islâmi", sebuah prinsip yang dengan canggih telah mensinergikan antara "konstanitas" dan "fleksibilitas" dalam syariah Islam. Jadi, Nasr bukan saja berpegang dengan methodogi dan teori Marxisme, lebih dari itu ia telah menempatkan diri pada barisan para pembela-pembelanya dengan semangat tinggi. Nah dari methologi dan teori Marxisme inilah Nasr kemudian menggunakan intrumen analisanya untuk menganalisa masalah-masalah "al-Qur'an", "wahyu dan kenabian", "aqidah", syari'ah" dan "historiografi teks-teks dan hukum". Interpretasi materialistik atas al-Qur'an Para ulama telah sepakat dalam ijma' bahwa al-Quran merupakan "tanzil", (yang berarti telah ada sebelum diturunkan dalam bentuk yang berbeda dengan apa yang turun diturunkan kebumi, lalu melalui Malaikat Jibril, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang masalah ini, sehingga tanpa diragukan telah manjadi aksiomatik bagi umat Islam. Namun dalam hal ini Nasr melihat bahwa realita merupakan yang asli dari al-Qur'an, dari realita inilah terbentuk nash, dan dari bahasa serta budaya (tsaqafahnya) terbentuk pemahamannya; melalui gerakan dan aktivitas manusia, selalu terbaharui "dalalahnya". Dari sini bisa disimpulkan bahwa realita adalah yang pertama, kedua, dan ketiga. Dari realita, segalanya bermula dan dari realita segalanya berakhir. (Naqd Khitab al-Dini, hal 99). Nasr menambahkan : "Sesungguhnya nash (al-Qur'an) terbentuk melalui tsaqafah safahiyah" (Mafhum an-Nash, hal 9), dan realita-lah yang telah menelorkan nash-nash ini (hal 109), dan dalam periode pembentukan nash dalam tsaqafah, tsaqafah menjadi "fâ'ilan" (subyek), sedangkan nash berperan sebagai "munfa'ilan" (hal 200 ), tsaqafah dan bahasa merupakan "fâilan" sedangkan nash merupakan "maf'ûlan" (objek) (hal 221). Dalam Mafhum an-Nash-nya, Nasr menjelaskan bahwa al-Quran yang mempunyai kekhususan yang muncul dari kesucian dan sifat ke-Tuhanannya, tak lebih dari sebuah hal yang dikatakan "kalâm yuqal" (Mafhum an-Nash, hal 21). Lebih jelas Nasr menjelaskan bahwa keimanan kepada keberadaan metafisika yang telah mendahului keberadaan nash inilah yang telah menghilangkan kebenaran. Padahal nash, katanya, pada intinya hanyalah "muntaj tsaqâfi" hasil budi daya tsaqofah, atau produk budaya, yang berarti bahwa ia sebenarnya terbentuk dalam realita dan tsaqafah selama dua puluh tahun. (Mafhum an-Nash, hal 27, 28). Nah, menurutnya, tren konsenfatif-lah yang telah menggeser dan menjauhkannya dari tabi'atnya yang asli sebagai nash bahasa, dan dijadikan sebagai yang mempunyai kesucian (qadasah). (hal 41). Interpretasi materialisme atas kenabian, wahyu, aqidah dan syari'ah Dalam memandang kenabian Nasr beranggapan bahwa kenabian bukanlah merupakan I'jaz (mu'jizat), melampaui batas undang-undang materi dan tabi'at serta realita, sesungguhnya ia hanya merupakan tingkatan yang kuat dari tingkatan-tingkatan khayal yang timbul dari efektifitas daya khayal manusia, yang kemudian para Nabi bisa berkomunikasi dengan malaikat, atau paranormal dengan jinnya. Kenabian merupakan kondisi dari kondisi-kondisi efektivitas yang luarbiasa bagi daya khayal manusia. Jadi perbedaan antara Nabi, penyair dan para sufi, hanya merupakan perbedaan derajat atau tingkatan, bukan perbedaan dalam jenis. Penafsiran kenabian yang bersandarkan kepada pengertian khayal, yakni perpindahan dari alam kemausiaan kepada alam malaikat, menurut Nasr, adalah merupakan perpindahan yang terlaksana melalui efektivitas daya khayal manusia, yang dimiliki oleh para Nabi, tapi masih dalam konteks pilihan dan fitrah. Dalam hal ini karena para nabi mempunyai kemampuan penghayalan yang lebih tinggi dibanding manusia biasa. Kekuatan khayal orang-orang biasa tidak dapat mencapai puncaknya kecuali saat mereka tidur karena dalam kondisi seperti ini semua indera sedang tidak aktif untuk sibuk memindahkan pengalaman-pengalaman dari alam luar ke dalam. Tapi, para Nabi, para penyair, dan paranormal mampu menggunakan kemampuan efektifitas hayalan dibanding orang-orang lainnya, baik dalam kondisi tidur ataupun sedang bangun. Tidak berarti bahwa ketiga kelompok tersebut diatas mempunyai tingkatan dan kemampuan serta efektivitas yang sama, karena dalam hal ini para Nabi menduduki peringkat pertama, lalu para sufi al-'arifin, baru disusul oleh para penyair. (Mafhum an-Nash, hal 56; Tafsir Markisi, hal 56). Lebih jelas lagi Nasr mengatakan bahwa kenabian hanyalah sebuah proses pengalaman spritual pribadi-pribadi, dan sama sekali tidak keluar dari batas-batas undang-undang tabiat materi "sebab akibat". "Kenabian dalam kerangka persepsi ini, bukan menjadi fenomena yang tinggi dan berbeda. Pemisahan dalam kerangka ini bisa difahami dalam kerangka pengalaman pribadi, atau dalam kerangka sebuah kualitas efektifitas yang luar biasa" (Mafhum an-Nash, hal 59)... dan ini semua menguatkan anggapan bahwa fenomena wahyu (al-Quran) bukanlah merupakan fenomena yang berbeda dengan realitas, bukan pula merupakan fenomena yang meloncat dari realita, atau sesuatu yang terjadi diluar undang-undang (tabiat), kenabian hanya merupakan bagian dari pemahaman budaya, yang terlahir dari tempat dan persepsinya" (tempat dan persepsi kebudayaan itu berkembang), (Mafhum an-Nash hal 38). Tentang Aqidah Dalam memandang aqidah, Nasr -dengan berpijak pada falsafat materialisme dan metodologi konvensional. Ia berpendapat bahwa aqidah mesti dibangun diatas landasan persepsi-persepsi "mitos", dalam kebudayaan komunitas manusia. Dengan demikian, aqidah sangat terkait dengan kualitas tingkat kesadaran komunitas ini, lalu berkembang sesuai dengan perkembangan kesadaran tersebut. Karena itu, aqidah tidak mungkin bersifat konstan (tetap), sebagaimana halnya (tidak ada) ajaran-ajaran agama yang konstan (tsawabit ad-din). Oleh karenanya Nasr kemudian menyerang "Khitab ad-Dini" yang telah mengabaikan kenyataan bahwa aqidah merupakan persepsi yang sangat terkait dengan tingkat kesadaran dan tingkat pengetahuan sepanjang sejarah. (Ihdar as-siyaq fi Ta'wil al-Khitab al-Dini, Majalah 01-93). Jadi, menurut Nasr, tidak akan pernah ada kamus "yang tetap" (konstantinitas) dalam aqidah. Ia menyatakan, jargon yang sering didengungkan kelompok konservativ, bahwa tidak ada tempat bagi ijtihad dalam bidang aqidah, merupakan jargon yang tidak logis. Historiografi makna dan hukum-hukum al-Qur'an Telah menjadi kesepakatan umat Islam bahwa al-Qur'an mencakup "muhkam" dan "mutasyabihat", dan untuk memahami mutasyabihat dikembalikan kepada yang muhkam, sebagian al-Quran pada hakekatnya menafsirkan bagian yang lain. Sedangkan asbab an-nuzul mengantarkan pembaca dan penafsir untuk memahami al-Quran dalam konteks turunnya ayat-ayat tersebut dari sini didapati dalalat asli. Sebagaimana telah menjadi kesepakatan bahwa dalam memahami al-Qu'an hendaknya difahami dalam kerangka dalalat "semantik" lafaznya, pada saat wahyu itu diturunkan, bukan melalui dalalat yang terjadi kemudian setelah masa turunnya wahyu. Dengan demikian tidak ada pemaham "historiografi" dalam al-Quran, sebagaimana al-Quran tidak mengenal periodisasi dalam memahaminya, karena dalam periodisasi maupun historiografi al-Quran - ada kontradiksi antara khulud al-Qur'an dengan khulud syariah yang dibawanya. Tapi Nasr dengan bersandarkan kepada methologi "material konvensional" menyatakan, bahwa ada historiografi teks-teks agama, baginya tidak pernah ada konstantinitas makna dan kekekalan serta keberlangsungan "dalalah" asli. Dengan keberanian yang luar biasa, Nasr menyatakan: "Tak ada unsur-unsur esensi yang tetap dalam teks-teks agama (masyru' al-nahdlah bayna al-Taufiq wa-Talfiq, Majalah 10-92). ... dan tak pernah ada pula unsur-unsur esensi yang konstan dalam teks. Setiap pembacaan mempunyai esensi yang akan terungkap dari nash" (Naqd Khitab ad-Dini, hal 83). Lalu dengan mengadopsi menthodologi "hyrsy" tentang pembedaan antara makna (meaning) dan maghza (esensi-signaficance) dalam teks. Makna bagi "hyrsy" adalah konstan dan tetap, namun esensinya terus berkembang dan berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan sejarah yang melingkupi timbulnya teks-teks adab dan seni, lalu disusul dengan datangnya teori baru tentang "Hermeneutika dialektik" setelah mengalami perkembangan melalui metologi "materialisme dialektik" di tangan "Gadamer" penerapan pembedaan antara makna dan esensi ini kemudian diterapkan kepada teks-teks agama. Nah dari sinilah Nasr kemudian menerapkannya kepada Al-Quran. Kata Nasr: "Sesungguhnya yang tetap dan konstan adalah makna yang dapat dicapai melewati talaah teks, adapun esensinya selalu berkembang dan berubah, karena esensi berdiri diatas jenis hubungan antara teks dan pembaca, adapun makna, maka dia berdiri sendiri" (Isykaliyat, hal 48). Bertolak dari pembedaan antara makna dan esensi, lalu penerapan teori pembedaan ini pada teks-teks adab dan seni kepada teks-teks agama, Nasr melihat pentingnya meninjau ulang telaah para ulama terhadap turats keagamaan sekitar tafsi al-Quran, yang sudah mengakar sejak dahulu. Ia lalu sampai pada pendiriannya: "Bahwa al-Quran adalah diskursus sejarah, tidak mengandung makna yang secara spesifik merupakan esensi yang konstan, tidak ada sesuatu unsur-unsur esensi yang konstan dalam teks, setiap pembacaan mempunyai esensi yang akan terungkap dari nash" (Naqd Khitab ad-Dini, hal 83). Setelah keluarnya ketetapan hukum riddah (murtad) baginya, Nasr mengatakan bahwa apa yang ia maksud dengan historiografi teks-teks agama tidak berarti bahwa al-Quran dan Hadits tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman kita. Tapi, Emarah mengisyaratkan adanya sebuah sikap Nasr yang amat jelas, bersikerasnya dalam memegang pendapatnya ini. Ia katakan: "Sesungguhnya al-Quran adalah teks agama yang konstan dalam dimensi "manthuqnya" tapi "mafhumnya" selalu berkembang (tidak konstan) - karena selalu mengalami interaksi dengan akal manusia. Nasr juga menekankan, bahwa kondisi teks, sebagai bahan suci dan dalam kondisi metafisika, tidak pernah diketahui sama sekali. Juga, semenjak diturunkan pertama kali, teks telah berubah dari sifatnya yang "teks keTuhanan" menjadi faham kemanusiaan, kerena ia telah berubah dari "tanzil" menjadi "ta'wil". Sesungguhnya pemahaman Nabi atas teks merupakan periode pertama dari pergerakan tek dalam interaksinya dengan akal manusia, dengan demikian, tak lagi perlu kita berpegang kepada anggapan "Khitab al-Dini" bahwa ada kesesuaian pemahaman Rasulullah "li dzalalah dzatiah" bagi teks, jika kita anggap bahwa "dzalalah dzatiah" itu ada". (Naqd Khitab ad-Dini, hal 94). Dalam memberikan contoh pembedaan makna dan esensi, Nasr mengambil contoh pembagian waris antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, pembagian 1:2 hanya merupakan, sebuah pembagian yang memang disesuaikan dengan kondisi perempuan yang masih terbelakang. Dalam kondisi perempuan yang terus berkembang menuju kematangannya dan dunia telah bergerak menuju persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, maka tak layak lagi berhenti pada pembagian yang telah ditetapkan wakyu. (Naqd Khitab ad-Dini hal 222, 106). Emarah, menyimpulkan, jika cara pandang Nasr digunakan, bahwa teks dibentuk oleh realita, sedangkan hukum dan perundang-undangan merupakan hasil dari pola dan kondisi sosial , maka tak ada sesuatu yang merupakan dari Allah. (Tafsir Markisi, hal 68). Penutup Jadi, bisa disimpulkan, bagi Nasr tidak ada sesuatu yang tetap dan konstan, kecuali realita. Tak ada sesuatu dibalik realita yang menyalahi undang-undangnya, ... tak ada ketetapan dan konstantinitas serta kesucian/keagungan "qadasah" dalam keyakinan-keyakinan diatas. Realita, bagi Nasr, adalah "permulaan (yang pertama), ... kedua juga realita ... dan berakhir dengan realita pula" (Naqd Khitab al-Dini, hal 99). Tren konservative dan fundamentalis - dalam aliran kebudayaan Arab-Islam - lah, menurut Nasr, yang telah mengubah semua nash (al-Quran) kepada sesuatu yang mempunyai kesucian, dengan mengatakan bahwa ini merupakan nash yang khusus, dan kekhususannya muncul dari kesucian dan ke-Tuhanan sumbernya. Padahal, hakekat nash dan esensinya adalah produk budaya "muntaj tsaqofi", yang terbentuk dalam realita dan kebudayaan selama kurun waktu dua puluh tahun" (Mafhum an-Nash, hal 14, 21, 27) Yang memprihatinkan, pola pikir seperti yang dikembangkan oleh Nasr ini, kini mulai dikenbangkan di Indonesia. Seolah-olah, Nasr adalah "ratu adil" yang mampu mengantarkan umat Islam kepada kejayaan gemilang, dan mengentaskan problematika-problematika yang kini melilit mereka. Kelompok Islam Liberal, misalnya, mencatat: "Dalam rangka memperjuangkan agenda-agenda tersebut, ada beberapa karakteristik yang menandai Islam liberal. Pertama, melepaskan diri dari kungkungan tradisi. Sebagaimana disinggung sebelumnya, Islam liberal harus berangkat dari tradisi, namun tradisi hanya dijadikan sebagai basic atau dasar pijak untuk melakukan transformasi. Dengan demikian, islam liberal tidak menolak tradisi dan juga tidak menerima apa adanya, namun mengolahnya secara kreatif dan proporsional. Tradisi disini bisa berarti praktek keberagamaan dan yang lebih penting adalah tradisi pemikiran. Kedua, melepaskan beban sejarah dimana umat Islam tidak merasa menjadi bagian dari sejarah kemanusiaan universal, tapi umat yang mempunyai sejarahnya sendiri, yang harus mengelompok dan punya tradisi sendiri yang berbeda daengan umat lain. Dari sini merka kemudian ingin mengembangkan kebudayaan Islam sebagaimana dicontohkan Nabi Saw yang ujung-ujungnya adalah mendirikan negara Islam. Beban demikian harus dilepas, karena yang menjadi menjadi tuntutan bukan masyarakat yang hegemonik dimana yang satu menguasai yang lain, tapi masyarakat plural yang egaliter, demokratis, dan berkeadilan. Ketiga, melepaskan diri dari ikatan harfiah teks dalam menggali pesan-pesan keagamaan. Ikatan berlebihan terhadap teks ini yang sekian lama telah mengungkung pemikiran Umat Islam. (Tashwir al-Afkar ; edisi 9 tahun 2000, hal 9-10, Juga: Jejak-jejak Liberalisme NU, oleh Rumadi) Hemat saya, jargon "membangun kondisi umat Islam" yang memang telah terpuruk dengan menerobos garis-garis yang telah menjadi kesepakatan umat "al-ma'lum min addîn bidl-dlarûrah", merupakan usaha sia-sia dan tak pernah mengalami keberhasilan sepanjang sejarah, dan dalam kenyataanya umat hanya berputar-putar di tempat. (wallaahu a'lam).
12 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar